Lee Juk Yo, 70 tahun, mendapat paket berupa buku, judul buku itu “Aku menangis saat memikirkannya”, ia langsung membaca buku tersebut. Juk Yo adalah seorang penyair dan sekaligus profesor universitas. Ia tinggal sendiri di rumahnya yang cukup besar dan menjalani hari-hari tuanya dengan banyak menghabiskan waktu di ruang bacanya dan sesekali mendaki.
“Aku belum pernah melihat bulan yang begitu
indah, aku percaya dia sedang memandang bulan yang sama, tapi baginya bulan
tidak akan tampak begitu indah, setiap orang melihat visi yang berbeda dari
objek yang sama.” Itu adalah sebagian puisi yang dibacakan Seo Ji Woo.
Seo Ji woo adalah murid Kakek dan sangat memuja profesornya itu dan sesekali ia datang berkunjug ke rumah Juk Yo sekaligus berguru pada Juk Yo.
Seo Ji woo adalah murid Kakek dan sangat memuja profesornya itu dan sesekali ia datang berkunjug ke rumah Juk Yo sekaligus berguru pada Juk Yo.
Suatu hari Juk Yo
dan Seo Ji Woo menemukan seorang gadis belia sedang tertidur di teras rumah
kakek. Gadis itu bernama Eun Gyo, 17 tahun. Terdapat bekas luka-luka di
sepanjang kaki Eun Gyo. Di film ini tidak ditampilkan secara jelas latar
belakang Eun Gyo, hanya diberikan kesan yang kuat bahwa Eun Gyo adalah anak
korban kekerasan dalam rumah alias ia sering dipukuli oleh ibunya.
Eun Gyo terbangun,
“Siapa kalian ?”, tanya Eun Gyo
“kamu siapa ?,
bagaimana kau bisa masuk kesini ?” Ji woo balik bertanya
Eun Gyo menyadari
bahwa ia sedang berada di teras rumah orang lain, “Aaah, ada tangga, aku masuk
kesini karena ada tangga di dekat pagar, aku selalu ingin duduk di kursi
seperti ini.” Jelas Eun Gyo.
Eun Gyo bertanya
pada Juk Yo, “apakah anda pemilik kursi ini?”
Ji woo : “apakah
kau dari hutan ? dimana rumahmu ?”
“di
sebelah laundromat. Kalau begitu, aku pergi dulu” jawab Eun Gyo yang langsung
pergi.
Ji wo memasak sup
di rumah Juk Yo untuk makan siang mereka berdua, namun sup itu terlalu lama di
masak dan sepertinya tidak enak. Juk Yo hanya makan sesendok supnya dan langsung
pergi meninggalkan meja makan tanpa berbicara sepatah katapun. Di rumah Juk Yo,
Ji wo juga bersih-bersih. Saat mereka minum-minum bersama,
Kakek : “Chaa..
mulai sekarang kau bisa menulis ceritamu sendiri”
“Jantung adalah
grafik teratas di mana-mana!” jawab ji woo setengah mabuk.
Ji Woo : “Lagipula,
aku telah ditugaskan untuk sebuah cerita”
Juk Yo : “Apa
katamu ?” tanya Juk Yo karena tak mendengar.
Ji Woo : “Jadi..
aku telah ditugaskan dalam ssebuah cerita. Dan aku ingin berkonsentrasi pada
itu, jadi begitu. Jadi sonseng nim, apa kau masih ingat gadis yang tidur di
teras-mu waktu itu?. ”
Juk Yo mengangguk
mengiykan
Ji Woo : “kebetulan
pada saat aku mengantarnya ke sekolah, dia bilang dia sedang mencari pekerjaan
part-time”
Juk Yo : “Dia
murid SMA, kan ?”
Ji woo : “Dia bilang,
kalau bisa dia kerja sebagai orang yang melakukan pekerjaan rumah” Ji Woo
menawarkan.
Juk Yo : “katakan
padanya untuk datang sabtu sore ini.”
Eun Gyo datang
dan mulai melakukan pekerjaan rumah, yaitu bersih-bersih. Saat Eun Gyo
membersihkan ruang kerja (ruang baca Juk Yo yang hampir 80% isinya buku semua)
mesin penyedot debu yang eun gyo gunakan selangnya tanpa sengaja menjatuhkan
tumpukan paket-paket yang berisi buku. Juk Yo datang dan merapikan kembali
paket-paket itu. Eun Gyo mencoba untuk membantu merapikan.
Eun gyo : “oh,
maaf”
Juk Yoo : “Tidak, tidak, tidak apa-apa”
Eun Gyo merapikan paket-paket buku itu dengan
menumpuknya secara asal, namun Juk Yo kembali merapikannya dengan memisah paket
mana yang sudah dibuka dan mana yang belum dibuka. Kemudian Juk Yo menyalakan
mesin penyedot debu dan membersihkan sendiri ruang kerjanya itu.
“Biar aku saja,”
kata eun gyo mencoba merebut mesin penyedot debu dari tangan Juk Yo. “Tidak,
tidak, biar aku saja”. Sebentar kemudian Eun Gyo kebingungan, apa yang harus ia
lakukan. Eun Gyo kemudian melihat tumpukan gelas dimana-mana dan berinisiatif
untuk merapikan itu saja. (tampaknya Juk Yo ini suka banget santai di ruang
kerjanya sambil minum, sampai- sampai gelas-gelasnya lupa di cuci dan di taruh
sembarangan gitu di mana-mana, tapi bukan minum soju sih, soalnya itu lebih
seperti gelas bekas teh, air putih dan kopi, mungkin.)
Juk Yo
melihatnya dan mengambil tumpukan gelas itudari tangan Eun Gyo, namun akhirmnya
mereka merapikannya bersama-sama.
mungkin karena
tidak ingin kejadian itu (selang penyedot debu yang membuat tumpukan buku
berantakan) terulang lagi. (bukannya niat ngebersihin malah tambah jadi
berantakan, hihihihi), Juk Yo membelikan mesin penyedot debu baru untuk Eun
Gyo.
Eun Gyo : “Heol
!...” Eun Gyo yang sedang mengepel lantai, heran melihat mesin penyedot debu
baru.
Juk Yo : “
Heori..., apa ?” hehehehe si kakek 70 tahun ini ga ngerti kata “Heol” ternyata
Eun Gyo :
“ Ooh.. itu artinya semacam “Terima kasih banyak”, kek. (Heol ....)
Treeng.. jadilah sekarang Eun Gyo bersih-bersih dengan menggunakan mesin penyedot debu baru.
Juk Yo duduk di
meja makan sambil memandangi Eun Gyo yang sedang membersihkan jendela kaca.
Eun Gyo :
“Saat aku membersihkan bagian atas jendela kaca, jari-jariku terasa tegang,
mengingatkanku pada pelajaran tari. Aku les tari sampai aku kelas 7.”Eun Gyo pergi ke tukang jahit untuk memendekkan seragam dan rok sekolahnya. (Ga ngerti kenapa scene ini nyelip di tengah-tengah. Mungkin untuk menunjukkan sisi centilnya si eun gyo sebagai murid SMA)
Eun Gyo : “Kakek,
semua pensilmu tumpul, apa kau ingin aku meruncingkannya ?”
Juk Yo : “Biarkan
saja, semua pensil tumpul itu menyedihkan.”
Eun Gyo : “
Apanya yang menyedihkan dari pensil ?” Balas Eun gyo sambil nyengir
Juk Yo : “Menurutmu,
bagian apakah yang menyedihkan ?”
Eun Gyo : “ Harabeoji,
apakah karena tajam pensil itu menyedihkan ?, kalau begitu, apakah semua pensil
yang tajam itu lalu menyedihkan ?, seperti itu kah, puisi ?”
Juk Yo : “Sebuah gambar yang berasal dari suatu objek
yang terpisah sejauh jarak surga dan neraka. Ketika aku membayangkan sebuah
pensil, aku bisa melihat seorang siswa yang sedang berlari ke sekolah. Ttalgaak,
ttalgaak... ia menyukai suara kotak pensil yang gemeretak di dalam tasnya. Ketika
anak itu tidak mampu pergi ke sekolah lagi, gemeretaknya terdengar seperti
suara pensil yang menangis. Maka dari itu, bagiku pensil berarti air mata. Dan saat
kamu mengatakan, “Haraboeji... tolong tajamkan pensilku”. Itu seperti aku
mendengar kamu mengatakan, “Haraboeji... tolong hapus air mataku”, ya seperti
itu.”
Suatu malam saat
hujan turun sangat lebat, Eun Gyo mengetuk pintu rumah Juk Yo.
Eun Gyo : “k tok
tok.. haraboeji... ini aku Eun Gyo..!!”
Juk Yo membuka
pintu dan menemukan Eun Gyo yang masih mngenakan seragam sekolahnya basah
kuyup.
Juk Yo : “
malam-malam begini, apa yang kamu lakukan ?”
Eun Gyo : “
Haraboeji chaam.. apa kakek tidak melihat aku basah kuyup seperti ini, malah
memarahiku terlebih dahulu.”
Juk yo kemudian
membiarkan Eun Gyo masuk
Eun Gyo : “
Haraboeji.. aku akan menginap di sini.”
Juk Yo : “apa??”
Eun Gyo : “Tolong
izinkan aku menginap di sini malam ini, aku tidak bisa pulang ke rumah.”
Juk Yo : “ coba
ku lihat wajahmu. Angkatlah kepalamu, biar kulihat.”
Juk Yo melihat
ada memar di sekitar telinga Eun Gyo.
Juk Yo : “sepertinya
seseorang telah memukulmu, siapa yang memukulmu ?, pacarmu ?”
Eun Gyo : “Ibuku.”
Juk Yo : “Ibumu ?”
Eun Gyo : “Ibuku..
tidak melakukannya pada adik-adikku, tapi kadang ia memukulku. Biasanya aku
pergi kerumah temanku ketika sesuatu seperti ini terjadi padaku.”
Juk Yo : “Ayo,
ganti pakaianmu dulu, ikut aku.”
Eun Gyo mengganti
seragam sekolahnya. Ia memakai baju Juk Yo. (Sebenarnya film ini masuk dalam
kategori X rated, eiiittss.. tapi aku ga akan ceritakan di sini... ada beberapa
adegan panas juga ditampilkan di film ini. Mungkin jika kalian penasaran pengen
liat gimana akting Kim Go Eun beradegan dewasa, kalian bisa tonton sendiri film
nya. ^_^. Tapi kalo menurut aku sendiri... tanpa adegan-adegan dewasa pun film
ini sudah cukup bagus lo, well karena aku suka hal yang berbau puisi dan film
ini bercerita tentang seorang penyair, jadi sekalian latihan menulis, aku buat
deh sinopsisnya. Cuman maaf aje ye... aku bakal potong untuk adegan dewasanya.
hehehe )
Juk Yo
mengeringkan seragam Eun Gyo dengan Hairdryer.
Eun Gyo : “kakek,
bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
Juk Yo : karena
suara hairdryer yang cukup bising. Jadi si kakek jawabnya ga nyambung nih , “aku
akan mengantarkanmu pulang setelah hujannya berhenti.”
Eun Gyo
mengulangi pertanyaannya, “bolehkah aku mengatakan sesuatu ?” “Ya.... ,” kata
Eun Gyo setengah berteriak.
Juk Yo mematikan
Hairdryer dan menjawab Eun Gyo, “ya, boleh.”
Eun Gyo : “
sekarang aku ingat. Puisimu tentang pensil sedih itu ada di dalam buku, kan ? “Camelia”,
ya kan ?.
Eun Gyo
menyebutkan puisi itu. “Seekor burung
kecil di sebelah makam Camelia. Seekor burung kecil menyedihkan dengan paruh
merah. Seekor burung kecil yang meninggalkan tanda air mata merah.”
Eun Gyo : “ puisi
itu keluar diujianku. Tapi... bagiku, ketika aku melihat pensil... aku jadi
mengingat ibuku. Ketika aku masih kecil, ibuku menggunakan cutter pensilku (cutter
untuk menajamkan pensil) untuk mencukur tumitnya, tapi saat ibu bekerja di
pemandian umum, ia tidak melakukannya lagi sekarang. Dan sekarang itu jadi
sakit, dan kau harus menggunakan dryer. Aku tidak tahu apa yang lebih buruk. Itulah
mengapa aku berpikir rautan pensil itu menyedihkan., Atau apakah tumit
menyedihkan ?”
Juk Yo : “
seperti itulah, itu bisa menjadi puisi.”
Eun Gyo : “
Pensil yang sedih, tumit yang sedih.”
Eun Gyo yang dari
tadi berbaring sambil menonton Juk Yo mengeringkan baju seragamnya mengangkat
dua kakinya ke atas dan bertanya pada Juk Yo.
Eun Gyo : “
Harabeoji... kakiku cantik, kan ?”
Juk Yo kaget dan
menjatuhkan seragam Eun Gyo.
“Heoll...! kata
Eun Gyo sambil tertawa.
Juk Yo : “Heoll
?, apa kau berterimakasih karena aku menjatuhkan seragammu ?” (wkwkwkwkwk..
kena deh.)
Eun gyo
membalasnya dengan tertawa kecil.
Esok paginya, Juk
Yo menemukan Eun Gyo yang tidur di bawah selimutnya. Ia mengintip dari balik
baju Eun Gyo, Di dada eun Gyo terdapat tato. Juk Yo mendengar suara pagar
rumahnya di buka dan ia langsung bergegas meninggalkan tempat tidurnya menuju
ruang kerjanya. Dan itu Seo Ji wo yang datang. Ji woo masuk ke dalam rumah, ia sedikit
terkejut melihat Eun Gyo yang memakai baju Juk Yo keluar dari kamar Juk Yo, Eun
Gyo menyapa Ji woo. Ji woo menanyakan dimana Profesornya,.
“Harabeoji.... ,
apa kau tidur dengan nyenyak,?” Eun Gyo berteriak.
Eun Gyo membuat
Sandwih untuk sarapan, ia menggoreng telur.
Ji Woo :”Sonsengnim
tidak makan roti, aku bilang dia tidak makan roti” Ji Woo mengulangi perkataannya
karenna Eun Gyo mengabaikannya.
Eun Gyo :”Tapi
aku melihat ada beberapa roti di dalam kulkas.”
Ji Wo mengkalaim
bahwa roti-roti itu miliknya.
Eun Gyo dengan
yakin mengatakan bahwa kakek pasti akan memakannya.
“memangnya kau
tahu apa ?” tanya Ji wo dengan sinis
Eun Gyo : “ lalu,
apa Sonsengnim mengenal haraboeji dengan sangat baik ?”
Ji Woo : “Tentu
saja.”
Eun Gyo : “sungguh
?”
Eun Gyo mencari
Juk Yo di ruang kerjanya sambil membawa dua piring sandwich buatannya.
Eun Gyo : “chajaaan...
ini dia Home made sandwich, enakkan...”
Juk Yo
menerimanya dengan canggung.
Juk Yo : “ aigoo
chaam,, bahan-bahan yang ada di dalam kulkas ternyata bisa menjadi karya seni
seperti ini, ternyata.”
Eun gyo terlihat
senang dan menyuruh Juk Yo untuk mencicipinya.
Ji woo : “Sonsengnim,
kau kan tidak makan roti.”
Juk Yo : “ Ini
bukan roti, ini sandwich.” (hoel... udah kecantol ternyata kakek tua yang satu
ini. )
Eun Gyo berdiri
senang dan mengatakan bahwa ia akan membawakan kopi juga juga. Setelah Eun Gyo
pergi, Ji woo mendekat pada Juk Yo dan mengatakan, “Sonsengnim.. dia kan, hanya
seorang gadis SMA”. Juk Yo menjawab, “Ia dia memang gadis SMA., lalu.. apakah
ada yang salah ?”
Ji Woo : “tidak,
tidak ada”
Juk Yo
bersiap-siap untuk pergi mendaki, sambil mengobrol dengan Eun Gyo yang sedang
mengoleskan lotion di wajahnya.
Eun Gyo : “Gulungan
petir sangat memekakkan telinga, Bagaimana bisa haraboeji tetap tenang.?, Aku ketakutan
sampai mau mati.”
Juk Yo :” Ho
ho... kau harus punya banyak hati nurani dalam dirimu” (hehehe ga ngerti sama
terjemahan yang ini)
Eun Gyo : “Itulah
sebabnya aku masuk diam-diam dan bersembunyi di bawah selimutmu.”
Juk Yo lalu
menanyakan tentang tato yang ada di bawah leher Eun Gyo. Eun Gyo mengatakan
kalau itu adalah Henna, dan itu akan hilang dalam beberapa hari.
Juk Yo
pergi mendaki, di ikuti oleh Eun Gyo dan Ji Woo. Ji Woo menyuruh Eun Gyo untuk
berhenti datang ke rumah Juk Yo. “Kenapa ?” tanya Eun Gyo. “Aku tidak akan
membayar gajimu lagi.” Kata Ji Woo. “Itu aneh, kakek bilang dia berharap aku
bisa datang dua kali seminggu kalau bisa.” Eun Gyo menjawab. “Apa ?” kata Ji Woo.
Eun Gyo kemudian melanjutkan, “ Dia memberiku kunci gerbang depan karena kakek
bilang tangga itu terlalu berbahaya.” (Ya.. kita tahu kalau Eun Gyo keluar
masuk rumah Juk Yo lewat tangga di samping rumah Juk Yo). Eun Gyo kemudian
berlari meninggalkan Ji Woo menghampiri Juk Yo yang terlihat sudah berada jauh
di depan mereka.
Di atas tebing,
Eun Gyo sedang duduk bercermin, Ji Woo datang dari belakang memanggilnya dengan
sedikit mendorong bahu Eun Gyo, “Hey,” panggil Ji Woo. Karena terkejut, Eun Gyo
jadi menjatuhkan cerminnya. “Tidak, cerminku...” , kata Eun Gyo yang terlhat panik
karena cerminnya terjatuh.
“Dasar gadis
aneh, kenapa juga kau bercermin di hutan seperti ini,?” kata Ji Woo dengan
santai.
“Itu adalah Anna
Sui, Putri Cermin.” Eun Gyo meneriaki Ji Woo
“Anna Sui ? Anna
Sui apa ?, apa itu ? aku akan membelikanmu yang baru yang sama seperti itu.” Kata
Ji woo
“Ibu
memberikannya kepadaku pada hari ulang tahunku.” Eun Gyo menangis.
“Aku sudah
bilang, aku akan membelikanmu yang baru yang sama persis seperti itu.”kata Ji
woo.
“Bagaimana itu
bisa sama, teriak Eun Gyo. “Bagi Sonsengnim mungkin itu terlihat persis, tapi
bagiku itu berbeda seperti surga dan neraka.” Kata Eun gyo lagi menjelaskan
bahwa tidak ada yang sama persis seperti cermin itu. “Itu adalah hadiah ulang
tahunku yang pertama dari Ibu, sesuatu yang mirip seperti itu tidaklah akan
sama.” Teriak Eun Gyo lagi.
Ditengah-tengah
pertengkaran mereka, Juk Yo ternyata mencoba untuk menuruni tebing bermaksud untuk
mengambil cermin itu. Setelah Juk Yo berhasil mengambil cermin tersebut Ji woo
mengulurkan tangan untuk membantu Juk Yo, namun di abaikan oleh Juk Yo.
“Cha....karena
ibumu yang memberikannya padamu, ini pasti berharga.”, kata juk Yo sembari
mengembalian cermin itu pada Eun Gyo.
Eun Gyo
sangat berterimakasih dan mengucapkan rasa khawatirnya pada Juk Yo. (What the
hell, sampai meluk-meluk segala... Tidaaakkkk... Go Eunaaa.. kenapa kamu
meluk-meluk laki-laki sudah berumur begitu sih... tapi ya sudah.. film ini
memang bercerita tentang kakek-kakek yang menemukan kehangatan dari seorang
gadis SMA, sehingga membangkitkan kembali jiwa mudanya.)
Eun Gyo datang kerumah
Juk Yo. Eun Gyo menawarkan untuk melukis Henna di dada Juk Yo. Juk Yo berbaring
di atas kaki Eun Gyo yang menyilang. Ia kemudian menutup matanya dan terbayang
olehnya ia kembali menjadi dirinya ketika ia muda. Ia kemudian menulis sebuah
puisi yang terinspirasi dari rasa cintanya kepada Eun Gyo.
“Aku bisa dengan mudah membungkus jari-jariku di
sekitar pergelangan kaki Eun Gyo. Tumitnya, terselip di antara jariku.dan dia
tertawa genit. Kepalanya yang harum beristirahat di bawah daguku. Dan bibirku
sudah terbenam di rambutnya. Muncul suara hembusan dari sepasang bibirnya.”
“Haraboeji...
sekarang kau boleh membuka matamu.” Eun Gyo membangunkan Juk Yo dari
lamunannya.
“Lihatlah..
sama seperti milikku bukan?”, kata Eun Gyo sambil memperlihatkan gambar Henna
yang berbentuk burung yang ada di dada Juk Yo dengan bantuan pantulan dari
cermin.
Sambil membayangkan Dirinya yang muda memadu kasih
dengan Eun Gyo, Juk Yo melanjutkan tulisannya. “Aku memelukmu erat , aku membelai rambutmu, bahumu, pinggangmu, dan aku
meletakkan telingaku di dadamu, mendengarkan detak jantungmu. Tanpa bisa berkata
apa-apa, wajahmu sangat indah.”
bersambung ke Part 2