Wednesday, February 15, 2017

SINOPSIS Film A Muse (Eun Gyo) [2012] Part 1




Lee Juk Yo, 70 tahun, mendapat paket berupa buku, judul buku itu “Aku menangis saat memikirkannya”, ia langsung membaca buku tersebut. Juk Yo adalah seorang penyair dan sekaligus profesor universitas. Ia tinggal sendiri di rumahnya yang cukup besar dan menjalani hari-hari tuanya dengan banyak menghabiskan waktu di ruang bacanya dan sesekali mendaki.



 


Aku belum pernah melihat bulan yang begitu indah, aku percaya dia sedang memandang bulan yang sama, tapi baginya bulan tidak akan tampak begitu indah, setiap orang melihat visi yang berbeda dari objek yang sama.” Itu adalah sebagian puisi yang dibacakan Seo Ji Woo.
Seo Ji woo adalah murid Kakek dan sangat memuja profesornya itu dan sesekali ia datang berkunjug ke rumah Juk Yo sekaligus berguru pada Juk Yo.
Suatu hari Juk Yo dan Seo Ji Woo menemukan seorang gadis belia sedang tertidur di teras rumah kakek. Gadis itu bernama Eun Gyo, 17 tahun. Terdapat bekas luka-luka di sepanjang kaki Eun Gyo. Di film ini tidak ditampilkan secara jelas latar belakang Eun Gyo, hanya diberikan kesan yang kuat bahwa Eun Gyo adalah anak korban kekerasan dalam rumah alias ia sering dipukuli oleh ibunya.
Eun Gyo terbangun, “Siapa kalian ?”, tanya Eun Gyo
“kamu siapa ?, bagaimana kau bisa masuk kesini ?” Ji woo balik bertanya
Eun Gyo menyadari bahwa ia sedang berada di teras rumah orang lain, “Aaah, ada tangga, aku masuk kesini karena ada tangga di dekat pagar, aku selalu ingin duduk di kursi seperti ini.” Jelas Eun Gyo.
Eun Gyo bertanya pada Juk Yo, “apakah anda pemilik kursi ini?”
Ji woo : “apakah kau dari hutan ? dimana rumahmu ?”
“di sebelah laundromat. Kalau begitu, aku pergi dulu” jawab Eun Gyo yang langsung pergi.




Ji wo memasak sup di rumah Juk Yo untuk makan siang mereka berdua, namun sup itu terlalu lama di masak dan sepertinya tidak enak. Juk Yo hanya makan sesendok supnya dan langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa berbicara sepatah katapun. Di rumah Juk Yo, Ji wo juga bersih-bersih. Saat mereka minum-minum bersama,
Kakek : “Chaa.. mulai sekarang kau bisa menulis ceritamu sendiri”
“Jantung adalah grafik teratas di mana-mana!” jawab ji woo setengah mabuk.
Ji Woo : “Lagipula, aku telah ditugaskan untuk sebuah cerita”
Juk Yo : “Apa katamu ?” tanya Juk Yo karena tak mendengar.
Ji Woo : “Jadi.. aku telah ditugaskan dalam ssebuah cerita. Dan aku ingin berkonsentrasi pada itu, jadi begitu. Jadi sonseng nim, apa kau masih ingat gadis yang tidur di teras-mu waktu itu?. ”
Juk Yo mengangguk mengiykan
Ji Woo : “kebetulan pada saat aku mengantarnya ke sekolah, dia bilang dia sedang mencari pekerjaan part-time”
Juk Yo : “Dia murid SMA, kan ?”
Ji woo : “Dia bilang, kalau bisa dia kerja sebagai orang yang melakukan pekerjaan rumah” Ji Woo menawarkan.
Juk Yo : “katakan padanya untuk datang sabtu sore ini.”




Eun Gyo datang dan mulai melakukan pekerjaan rumah, yaitu bersih-bersih. Saat Eun Gyo membersihkan ruang kerja (ruang baca Juk Yo yang hampir 80% isinya buku semua) mesin penyedot debu yang eun gyo gunakan selangnya tanpa sengaja menjatuhkan tumpukan paket-paket yang berisi buku. Juk Yo datang dan merapikan kembali paket-paket itu. Eun Gyo mencoba untuk membantu merapikan.
Eun gyo : “oh, maaf”
Juk Yoo  : “Tidak, tidak, tidak apa-apa”



Eun Gyo merapikan paket-paket buku itu dengan menumpuknya secara asal, namun Juk Yo kembali merapikannya dengan memisah paket mana yang sudah dibuka dan mana yang belum dibuka. Kemudian Juk Yo menyalakan mesin penyedot debu dan membersihkan sendiri ruang kerjanya itu.





“Biar aku saja,” kata eun gyo mencoba merebut mesin penyedot debu dari tangan Juk Yo. “Tidak, tidak, biar aku saja”. Sebentar kemudian Eun Gyo kebingungan, apa yang harus ia lakukan. Eun Gyo kemudian melihat tumpukan gelas dimana-mana dan berinisiatif untuk merapikan itu saja. (tampaknya Juk Yo ini suka banget santai di ruang kerjanya sambil minum, sampai- sampai gelas-gelasnya lupa di cuci dan di taruh sembarangan gitu di mana-mana, tapi bukan minum soju sih, soalnya itu lebih seperti gelas bekas teh, air putih dan kopi, mungkin.)
Juk Yo melihatnya dan mengambil tumpukan gelas itudari tangan Eun Gyo, namun akhirmnya mereka merapikannya bersama-sama.



mungkin karena tidak ingin kejadian itu (selang penyedot debu yang membuat tumpukan buku berantakan) terulang lagi. (bukannya niat ngebersihin malah tambah jadi berantakan, hihihihi), Juk Yo membelikan mesin penyedot debu baru untuk Eun Gyo.
Eun Gyo : “Heol !...” Eun Gyo yang sedang mengepel lantai, heran melihat mesin penyedot debu baru.
Juk Yo : “ Heori..., apa ?” hehehehe si kakek 70 tahun ini ga ngerti kata “Heol” ternyata
Eun Gyo : “ Ooh.. itu artinya semacam “Terima kasih banyak”, kek. (Heol ....)



Treeng.. jadilah sekarang Eun Gyo bersih-bersih dengan menggunakan mesin penyedot debu baru.






Juk Yo duduk di meja makan sambil memandangi Eun Gyo yang sedang membersihkan jendela kaca.
Eun Gyo : “Saat aku membersihkan bagian atas jendela kaca, jari-jariku terasa tegang, mengingatkanku pada pelajaran tari. Aku les tari sampai aku kelas 7.”



Eun Gyo pergi ke tukang jahit untuk memendekkan seragam dan rok sekolahnya. (Ga ngerti kenapa scene ini nyelip di tengah-tengah. Mungkin untuk menunjukkan sisi centilnya si eun gyo sebagai murid SMA)





Eun Gyo : “Kakek, semua pensilmu tumpul, apa kau ingin aku meruncingkannya ?”
Juk Yo : “Biarkan saja, semua pensil tumpul itu menyedihkan.”
Eun Gyo : “ Apanya yang menyedihkan dari pensil ?” Balas Eun gyo sambil nyengir
Juk Yo : “Menurutmu, bagian apakah yang menyedihkan ?”
Eun Gyo : “ Harabeoji, apakah karena tajam pensil itu menyedihkan ?, kalau begitu, apakah semua pensil yang tajam itu lalu menyedihkan ?, seperti itu kah, puisi ?”
Juk Yo : “Sebuah gambar yang berasal dari suatu objek yang terpisah sejauh jarak surga dan neraka. Ketika aku membayangkan sebuah pensil, aku bisa melihat seorang siswa yang sedang berlari ke sekolah. Ttalgaak, ttalgaak... ia menyukai suara kotak pensil yang gemeretak di dalam tasnya. Ketika anak itu tidak mampu pergi ke sekolah lagi, gemeretaknya terdengar seperti suara pensil yang menangis. Maka dari itu, bagiku pensil berarti air mata. Dan saat kamu mengatakan, “Haraboeji... tolong tajamkan pensilku”. Itu seperti aku mendengar kamu mengatakan, “Haraboeji... tolong hapus air mataku”, ya seperti itu.”





Suatu malam saat hujan turun sangat lebat, Eun Gyo mengetuk pintu rumah Juk Yo.
Eun Gyo : “k tok tok.. haraboeji... ini aku Eun Gyo..!!”
Juk Yo membuka pintu dan menemukan Eun Gyo yang masih mngenakan seragam sekolahnya basah kuyup.
Juk Yo : “ malam-malam begini, apa yang kamu lakukan ?”
Eun Gyo : “ Haraboeji chaam.. apa kakek tidak melihat aku basah kuyup seperti ini, malah memarahiku terlebih dahulu.”
Juk yo kemudian membiarkan Eun Gyo masuk
Eun Gyo : “ Haraboeji.. aku akan menginap di sini.”
Juk Yo : “apa??”
Eun Gyo : “Tolong izinkan aku menginap di sini malam ini, aku tidak bisa pulang ke rumah.”
Juk Yo : “ coba ku lihat wajahmu. Angkatlah kepalamu, biar kulihat.”
Juk Yo melihat ada memar di sekitar telinga Eun Gyo.
Juk Yo : “sepertinya seseorang telah memukulmu, siapa yang memukulmu ?, pacarmu ?”
Eun Gyo : “Ibuku.”
Juk Yo : “Ibumu ?”
Eun Gyo : “Ibuku.. tidak melakukannya pada adik-adikku, tapi kadang ia memukulku. Biasanya aku pergi kerumah temanku ketika sesuatu seperti ini terjadi padaku.”
Juk Yo : “Ayo, ganti pakaianmu dulu, ikut aku.”
Eun Gyo mengganti seragam sekolahnya. Ia memakai baju Juk Yo. (Sebenarnya film ini masuk dalam kategori X rated, eiiittss.. tapi aku ga akan ceritakan di sini... ada beberapa adegan panas juga ditampilkan di film ini. Mungkin jika kalian penasaran pengen liat gimana akting Kim Go Eun beradegan dewasa, kalian bisa tonton sendiri film nya. ^_^. Tapi kalo menurut aku sendiri... tanpa adegan-adegan dewasa pun film ini sudah cukup bagus lo, well karena aku suka hal yang berbau puisi dan film ini bercerita tentang seorang penyair, jadi sekalian latihan menulis, aku buat deh sinopsisnya. Cuman maaf aje ye... aku bakal potong untuk adegan dewasanya. hehehe )
Juk Yo mengeringkan seragam Eun Gyo dengan Hairdryer.
Eun Gyo : “kakek, bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
Juk Yo : karena suara hairdryer yang cukup bising. Jadi si kakek jawabnya ga nyambung nih , “aku akan mengantarkanmu pulang setelah hujannya berhenti.”
Eun Gyo mengulangi pertanyaannya, “bolehkah aku mengatakan sesuatu ?” “Ya.... ,” kata Eun Gyo setengah berteriak.
Juk Yo mematikan Hairdryer dan menjawab Eun Gyo, “ya, boleh.”
Eun Gyo : “ sekarang aku ingat. Puisimu tentang pensil sedih itu ada di dalam buku, kan ? “Camelia”, ya kan ?.
Eun Gyo menyebutkan puisi itu. “Seekor burung kecil di sebelah makam Camelia. Seekor burung kecil menyedihkan dengan paruh merah. Seekor burung kecil yang meninggalkan tanda air mata merah.”
Eun Gyo : “ puisi itu keluar diujianku. Tapi... bagiku, ketika aku melihat pensil... aku jadi mengingat ibuku. Ketika aku masih kecil, ibuku menggunakan cutter pensilku (cutter untuk menajamkan pensil) untuk mencukur tumitnya, tapi saat ibu bekerja di pemandian umum, ia tidak melakukannya lagi sekarang. Dan sekarang itu jadi sakit, dan kau harus menggunakan dryer. Aku tidak tahu apa yang lebih buruk. Itulah mengapa aku berpikir rautan pensil itu menyedihkan., Atau apakah tumit menyedihkan ?”
Juk Yo : “ seperti itulah, itu bisa menjadi puisi.”
Eun Gyo : “ Pensil yang sedih, tumit yang sedih.”
Eun Gyo yang dari tadi berbaring sambil menonton Juk Yo mengeringkan baju seragamnya mengangkat dua kakinya ke atas dan bertanya pada Juk Yo.
Eun Gyo : “ Harabeoji... kakiku cantik, kan ?”
Juk Yo kaget dan menjatuhkan seragam Eun Gyo.
“Heoll...! kata Eun Gyo sambil tertawa.
Juk Yo : “Heoll ?, apa kau berterimakasih karena aku menjatuhkan seragammu ?” (wkwkwkwkwk.. kena deh.)
Eun gyo membalasnya dengan tertawa kecil.





Esok paginya, Juk Yo menemukan Eun Gyo yang tidur di bawah selimutnya. Ia mengintip dari balik baju Eun Gyo, Di dada eun Gyo terdapat tato. Juk Yo mendengar suara pagar rumahnya di buka dan ia langsung bergegas meninggalkan tempat tidurnya menuju ruang kerjanya. Dan itu Seo Ji wo yang datang. Ji woo masuk ke dalam rumah, ia sedikit terkejut melihat Eun Gyo yang memakai baju Juk Yo keluar dari kamar Juk Yo, Eun Gyo menyapa Ji woo. Ji woo menanyakan dimana Profesornya,.
“Harabeoji.... , apa kau tidur dengan nyenyak,?” Eun Gyo berteriak.
Eun Gyo membuat Sandwih untuk sarapan, ia menggoreng telur.
Ji Woo :”Sonsengnim tidak makan roti, aku bilang dia tidak makan roti” Ji Woo mengulangi perkataannya karenna Eun Gyo mengabaikannya.
Eun Gyo :”Tapi aku melihat ada beberapa roti di dalam kulkas.”
Ji Wo mengkalaim bahwa roti-roti itu miliknya.
Eun Gyo dengan yakin mengatakan bahwa kakek pasti akan memakannya.
“memangnya kau tahu apa ?” tanya Ji wo dengan sinis
Eun Gyo : “ lalu, apa Sonsengnim mengenal haraboeji dengan sangat baik ?”
Ji Woo : “Tentu saja.”
Eun Gyo : “sungguh ?”
Eun Gyo mencari Juk Yo di ruang kerjanya sambil membawa dua piring sandwich buatannya.
Eun Gyo : “chajaaan... ini dia Home made sandwich, enakkan...”
Juk Yo menerimanya dengan canggung.
Juk Yo : “ aigoo chaam,, bahan-bahan yang ada di dalam kulkas ternyata bisa menjadi karya seni seperti ini, ternyata.”
Eun gyo terlihat senang dan menyuruh Juk Yo untuk mencicipinya.
Ji woo : “Sonsengnim, kau kan tidak makan roti.”
Juk Yo : “ Ini bukan roti, ini sandwich.” (hoel... udah kecantol ternyata kakek tua yang satu ini. )
Eun Gyo berdiri senang dan mengatakan bahwa ia akan membawakan kopi juga juga. Setelah Eun Gyo pergi, Ji woo mendekat pada Juk Yo dan mengatakan, “Sonsengnim.. dia kan, hanya seorang gadis SMA”. Juk Yo menjawab, “Ia dia memang gadis SMA., lalu.. apakah ada yang salah ?”
Ji Woo : “tidak, tidak ada”





Juk Yo bersiap-siap untuk pergi mendaki, sambil mengobrol dengan Eun Gyo yang sedang mengoleskan lotion di wajahnya.
Eun Gyo : “Gulungan petir sangat memekakkan telinga, Bagaimana bisa haraboeji tetap tenang.?, Aku ketakutan sampai mau mati.”
Juk Yo :” Ho ho... kau harus punya banyak hati nurani dalam dirimu” (hehehe ga ngerti sama terjemahan yang ini)
Eun Gyo : “Itulah sebabnya aku masuk diam-diam dan bersembunyi di bawah selimutmu.”
Juk Yo lalu menanyakan tentang tato yang ada di bawah leher Eun Gyo. Eun Gyo mengatakan kalau itu adalah Henna, dan itu akan hilang dalam beberapa hari.
Juk Yo pergi mendaki, di ikuti oleh Eun Gyo dan Ji Woo. Ji Woo menyuruh Eun Gyo untuk berhenti datang ke rumah Juk Yo. “Kenapa ?” tanya Eun Gyo. “Aku tidak akan membayar gajimu lagi.” Kata Ji Woo. “Itu aneh, kakek bilang dia berharap aku bisa datang dua kali seminggu kalau bisa.” Eun Gyo menjawab. “Apa ?” kata Ji Woo. Eun Gyo kemudian melanjutkan, “ Dia memberiku kunci gerbang depan karena kakek bilang tangga itu terlalu berbahaya.” (Ya.. kita tahu kalau Eun Gyo keluar masuk rumah Juk Yo lewat tangga di samping rumah Juk Yo). Eun Gyo kemudian berlari meninggalkan Ji Woo menghampiri Juk Yo yang terlihat sudah berada jauh di depan mereka.








Di atas tebing, Eun Gyo sedang duduk bercermin, Ji Woo datang dari belakang memanggilnya dengan sedikit mendorong bahu Eun Gyo, “Hey,” panggil Ji Woo. Karena terkejut, Eun Gyo jadi menjatuhkan cerminnya. “Tidak, cerminku...” , kata Eun Gyo yang terlhat panik karena cerminnya terjatuh.
“Dasar gadis aneh, kenapa juga kau bercermin di hutan seperti ini,?” kata Ji Woo dengan santai.
“Itu adalah Anna Sui, Putri Cermin.” Eun Gyo meneriaki Ji Woo
“Anna Sui ? Anna Sui apa ?, apa itu ? aku akan membelikanmu yang baru yang sama seperti itu.” Kata Ji woo
“Ibu memberikannya kepadaku pada hari ulang tahunku.” Eun Gyo menangis.
“Aku sudah bilang, aku akan membelikanmu yang baru yang sama persis seperti itu.”kata Ji woo.
“Bagaimana itu bisa sama, teriak Eun Gyo. “Bagi Sonsengnim mungkin itu terlihat persis, tapi bagiku itu berbeda seperti surga dan neraka.” Kata Eun gyo lagi menjelaskan bahwa tidak ada yang sama persis seperti cermin itu. “Itu adalah hadiah ulang tahunku yang pertama dari Ibu, sesuatu yang mirip seperti itu tidaklah akan sama.” Teriak Eun Gyo lagi.
Ditengah-tengah pertengkaran mereka, Juk Yo ternyata mencoba untuk menuruni tebing bermaksud untuk mengambil cermin itu. Setelah Juk Yo berhasil mengambil cermin tersebut Ji woo mengulurkan tangan untuk membantu Juk Yo, namun di abaikan oleh Juk Yo.


“Cha....karena ibumu yang memberikannya padamu, ini pasti berharga.”, kata juk Yo sembari mengembalian cermin itu pada Eun Gyo.
Eun Gyo sangat berterimakasih dan mengucapkan rasa khawatirnya pada Juk Yo. (What the hell, sampai meluk-meluk segala... Tidaaakkkk... Go Eunaaa.. kenapa kamu meluk-meluk laki-laki sudah berumur begitu sih... tapi ya sudah.. film ini memang bercerita tentang kakek-kakek yang menemukan kehangatan dari seorang gadis SMA, sehingga membangkitkan kembali jiwa mudanya.)


 

 


Eun Gyo datang kerumah Juk Yo. Eun Gyo menawarkan untuk melukis Henna di dada Juk Yo. Juk Yo berbaring di atas kaki Eun Gyo yang menyilang. Ia kemudian menutup matanya dan terbayang olehnya ia kembali menjadi dirinya ketika ia muda. Ia kemudian menulis sebuah puisi yang terinspirasi dari rasa cintanya kepada Eun Gyo.
“Aku bisa dengan mudah membungkus jari-jariku di sekitar pergelangan kaki Eun Gyo. Tumitnya, terselip di antara jariku.dan dia tertawa genit. Kepalanya yang harum beristirahat di bawah daguku. Dan bibirku sudah terbenam di rambutnya. Muncul suara hembusan dari sepasang bibirnya.”
“Haraboeji... sekarang kau boleh membuka matamu.” Eun Gyo membangunkan Juk Yo dari lamunannya.
“Lihatlah.. sama seperti milikku bukan?”, kata Eun Gyo sambil memperlihatkan gambar Henna yang berbentuk burung yang ada di dada Juk Yo dengan bantuan pantulan dari cermin.

Sambil membayangkan Dirinya yang muda memadu kasih dengan Eun Gyo, Juk Yo melanjutkan tulisannya. “Aku memelukmu erat , aku membelai rambutmu, bahumu, pinggangmu, dan aku meletakkan telingaku di dadamu, mendengarkan detak jantungmu. Tanpa bisa berkata apa-apa, wajahmu sangat indah.”

bersambung ke Part 2

No comments:

Post a Comment